HASIL UN 2013/2014
Pengumuman kelulusan Ujian Nasional SMAN 6 Semarang tanggal 20 Mei 2014.
Halaman ini dipersiapkan untuk pengumuman kelulusan siswa SMAN 6 Semarang tahun ajaran 20013/2014. bagi anda siswa atau orangtua atau siapa saja warga sekolah yang ingin tahu tentang , pada saatnya nanti halaman ini akan berganti dengan pengumuman kelulusan
semua ada disini
Jumat, 24 Oktober 2008
Pemahaman Korupsi dalam sebuah pengantar
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah
Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3. Penetapan harga penjualan atau ruislag.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi.
Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.
Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan?
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar.
Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat cialam tiga tahun terakhir harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi. Indonesia masih tetap merupakan negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.
Usaho pemberantasan korupsi jelas tidak muciah. Kesulitan itu kelihatan semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat; menjadi berurat berakar dalam masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap mesti dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Makalah singkat ini berusaha membahas tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk pemberantasan korupsi, khususnya dilihat dari perspektif pembentukan good governance.
Korupsi dan Politik
Sebelum kita melangkah lebih jauh-berbicara tentang pemberantasan korupsi ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang definisi korupsi, yang kini di Indonesia disebut dalam tarikan nafas yang sama sebagai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Secara umum, istilah korupsi selama ini mengacu kepada berbagai tindakan gelap don tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Tetapi dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntungan pribadi
Berdasarkan pengertian ini Philip (1997) mengidentifikosi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kontor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikon sebagai tingkah laku don tindakan seseorang pejobat publikyang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau otau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabot, don teman. Pengertian ini, seperti terlihat, juga mencakup kolusi don nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakantindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau mated lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.
Dari cakupan ketiga kelompok pengertian korupsi di atas, berbagai kajian akademis, organisasi internasional seperti ADB, World Bank, Transparency International dan lain-lain dan para pejabat pemerintah yang diduga melakukan korupsi (Kaufmann 1977), akhirnya mengambil pengertian minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk kasus korupsi. Pengertian minimalis itu dirumuskan Leiken, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan [material] pribadi atau kemanfaatan politik (cf. Leiken 1997:55-73).
Mengelaborasi pengertian minimalis di atas, World Bank merinci bentuk-bentuk tindakan yang termasuk ke dajam korupsi, yakni: Public office is abused for private gain when an official accepts solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues (World Bank 1997).
Pengertian minimalis senada juga dikemukakan Syed Hussein Alatas (1990:3-4). Menurut Alatas, °corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dari pengertian minimalis ini, Alatas mengembangkan beberapa tipologi korupsi. Pertama, °korupsi transaktif ; yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak; kedua, Norupsi ekstortif ; yakni korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghidari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi; ketiga, Norupsi investif ; yakni korupsi yang bermula dengan tawaran/iming-iming yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
keempat, Norupsi nepotistik ; yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat; kelima, Norupsi otogenik ; yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider's information) tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan; dan keenam, korupsi supportif'; yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
Demikianlah, dengan pengertian yang semula minimalis korupsi bisa dirinci ke dalam berbagai tipologi dan kategori. Lebih jauh, korupsi dapat juga dirumuskan berdasarkan tempat terjadinya; pada tingkat politik dan birokrasi di dalam sektor publik, atau dalam sektor swasta. Korupsi juga dapat dirumuskan dalam tingkat intensitasnya; apakah tindakan korupsi itu berlangsung secara isolatif atau sistematik. Kategori lainnya mencakup: korupsi benar-besaran dan kecil-kecilan; korupsi nasional dan lokal; personal dan institusional; dan korupsi tradisional dan moderen.
Seluruh kategori, tipologi, atau jenis korupsi ini sangat membantu tidak hanya untuk mengenali berbagai bentuk korupsi itu sendiri, tetapi juga penyebabnya, konsekuensi-konsekuensinya, dan cara-cara pemecahannya. Dengan demikian, tipologi, kategori dan jenis jenis korupsi tersebut akan menentukan prognosa untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, pemahaman yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyebab dan konsekuensi-konsekuensi korupsi sangat penting bagi perumusan sebuah strategi untuk memobilisasi gerakan anti korupsi dan membangun kemauan politik untuk melawan korupsi. Strategi itu mencakup pengembangan tiga hal; pertama, kemampuan mengartikulasikan berbagai konsekuensi korupsi terhadap sistem ekonomi, politik dan sosial merupakan hal sangat krusial untuk melibatkan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam usaha-usaha antikorupsi dan membangun koalisi untuk reformasi dan pembentukan good governance; kedua, pemahaman tentang kenapa kepemimpinan politik dan birokrasi sewaktu-waktu membicarakan soal korupsi tetapi tidak pada kesempatan lain sangat esensial untuk mendekonstruksi pengaturanpengaturan kolusif yang ada;
ketiga, pemahaman lebih baik juga diperlukan tentang bagaimana tuntutan bagi pemberantasan korupsi dapai: dimobilisasi, dan bagaimana komitmen kepada gerakan anti-korupsi dari kepemimpinan politik dan birokrasi dapat diperoleh sehingga dapat menjamin sustainability adanya kebijakan-kebijakan khusus dan perubahan-perubahan institusional yang diperlukan untuk memberantas korupsi.
Tata Pemerintahan Yang Baik dan Korupsi
Dengan mengenali berbagai kategori, tipologi dan jenis korupsi serta faktor-faktor penyebab kemunculannya dalam konteks situasi tertentu, barulah reformasi anti-korupsi dapat dilakukan. Secara singkat, gerakan anti-korupsi ini merupakan proses dua tahap. Pertama, tahap perumusan kebijaksanaan untuk menangani penyebab-penyebab pokok korupsi; dan kedua, penciptaan dan penumbuhan kemauan politik (political will) yang sangat krusial bagi implementasi gerakan reformasi anti-korupsi.
Kedua tahap mencerminkan peranan krusial pemerintahan dan birokrasi umumnya dalam gerakan anti korupsi. Dan ini membutuhkan terwujudnya good governance yang demokratis, kredibel, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan sektor publik. Karena itu langkah krusial paling awal dalam pemberantasan korupsi adalah meningkatkan tuntutan-tuntutan bagi reformasi pertama kali pada level pemerintahan, kemudian pada level masyarakat bisnis, dan publik pada umumnya.
Seperti dikutip paling awal dalam makalah ini, komitmen yang ikhlas, dan tulus dari kepemimpinan tertinggi dan tinggi negara merupakan komponen sangat krusial bagi keberhasilan kampanye antikorupsi. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Sering sekali kepemimpinan politik dan birokrasi hanya secara sporadis dan adhoc berbicara tentang pemberantasan korupsi.
Karena itu, terdapat kesan bahwa kepemimpinan politik dan birokrasi berbicara tentang korupsi hanya untuk kepentingan konsumsi politik publik, dan untuk mendapatkan legitimasi tambahan melalui isyu anti-korupsi. Secara unum, terdapat kecenderungan analisis untung-rugi politik (political cost-benefit analysis) dari pihak kepemimpinan politik dan birokrasi menjadi faktor menentukan eksistensi dan, sebaliknya, ketiadaan/kekurangan kebijakan resmi atau tindakan kongkrit terhadap korupsi. Karena itu, merupakan tugas lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya untuk terus melakukan pressure agar selalu muncul kemauan politik dari kepemimpinan politik untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah kongkrit bagi pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya, terdapat tiga macam kebijakan resmi yang dapat diambil kepemimpinan politik untuk secara efektif dapat mengurangi jika tidak menghabiskan sama sekali berbagai bentuk korupsi. Pertama, mengubah kebijakan yang mendorong orang atau memberikan kesempatan bagi terjadinya korupsi; kedua, menata kembali struktur penggajian dan insentif material lainnya yang berlaku pada lembaga-lembaga administrasi-birokrasi dan institusi-institusi politik lainnya; ketiga, mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan dan kapasitas penegakan hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif, dan berkesinambungan.
Pada tahap berikutnya, ketiga kebijakan di atas dapat dipadukan dengan rekomendasi yang diberikan World Bank (1997:105) tentang strategi untuk pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ada tiga komponen penting yang tercakup dalam strategi pemberantasan korupsi:
Pertama, membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan merit dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrari.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya hendaklah juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga sekali lagi pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini:
Pertama, memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol tersebut bisa berfungsi baik. Dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan.
Hal terakhir ini dapat dicapai melalui kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan administratif, transparansi yang lebih besar dari pihak pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan. Yang terakhir, mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi tentang konsep-konsep seperti Nantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.
Penutup
Momentum bagi pemberantasan korupsi di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dan momentum itu telah diformalisasikan di dalam ketetapan don kebijakon resmi negara, baik pada level MPR, DPR maupun eksekutif. Dan bahkan sekorang sedang disiapkan don dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan pembentukan KPTPK yang memiliki wewenang sangat luas, publik berharap pemberantasan korupsi dapat kembali menemukan momentumnya.
Meski sempat mengalami sedikit pasang surut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, momentum untuk memberantas korupsi nampaknya sedikit meningkat pada awal masa Presiden Megawati. Presiden Megawati dalam pidatonya menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 56 di depan Sidang Paripurna DPR menyatakan tekadnya untuk tidak memberikan kesempotan bagi berkembangnya tindakan-tindakan KKN dimulai dengan keluarga terdekatnya sendiri.
Terakhir dalam sebuah kesempatan perjalanannya keliling negara-negara ASEAN, Presiden Megawati berencana untuk menyiapkan RUU Anti-KKN. Pernyataan-pernyataan Presiden Megawati don pembentukan KPTPK mengisyaratkan adanya semacam political will untuk memberantas korupsi yang telah banyak disinggung di atas. Tetapi aktualisasi pemberantasan korupsi secara kongkrit rnasih harus ditunggu.
Bahkan, dalam banyak kalangan publik sekarang muncul kesan yang semakin kuat bahwa pejabat-pejabat publik Indonesia tidak serius memberantas korupsi. Atau, paling banter hanya menjadi lips service belaka.
Tetapi, saya lira, publik seharusnya tidak menunggu entah sampai kapan munculnya usaha-usaha kongkrit dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi. Sementara itu, publik justru harus meningkatkan public pressure yang seperti dikemukakan terdahulu sangat krusial dalam usaha pemberantasan korupsi.
Kita bersyukur, pada akhirnya organisasi-organisasi Muslim terbesar di negeri ini; NU dan Muhammadiyah dalam beberapa waktu terakhir melalui kerjasama dengan Partnership for Governance Reform telah dan sedang melancarkan kampanye dan gerakan anti korupsi (Azra 2003). Kampanye publik ini sebuah langkoh maju, tetapi masih diperlukan lagi langkah-langkah dan aksi lebih kongkrit dari publik dan masyarakat secara keseluruhan untuk menolak praktek-praktek korupsi, Walahu a ' lam bish-shawab. (Azyumardi Azra, Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bibliografi
Alatas, Syed Hussein, 1990, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, aldershot, Brookfield, Vt.: Avebury
Azra, Azyumardi, 2003,”Agama dan pemberantasan Korupsi”, Kompas, 5 Oktober,2003.
Elliot, Kimberly A, 1997,”Corruption as a Global Policy Problem: Overview and Recommendations”, in Corruption and the Global Economy, Washington D.C.: Institute for Global Economics
Heywood, Paul, 1997,”Political Corruption: Problems and Perspectives”, Political Studies, Vol 45, No.3, Special Issue.
-------------------
Makalah disampaikan dalam seminar internasional: Praktek-Praktek yang baik Dalam Memerangi Korupsi di Asia, diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia, bersama Kementerian PAN, IPW, AJI, ICW, dan GTZ di Hotel Le Meridien Jakarta,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar