Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Bahasa Inggris: Universal Declaration of Human Rights ; singkatan: UDHR) adalah sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (A/RES/217, 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris). Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal yang menggarisbesarkan pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM) kepada semua orang. Eleanor Roosevelt, ketua wanita pertama Komisi HAM (Bahasa Inggris: Commission on Human Rights; singkatan: CHR) yang menyusun deklarasi ini, mengatakan, "Ini bukanlah sebuah perjanjian... [Di masa depan] ini mungkin akan menjadi Magna Carta internasional..."[1]
Lebih Lanjut klik:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pernyataan_Umum_tentang_Hak-Hak_Asasi_Manusia
Read More...
HASIL UN 2013/2014
Pengumuman kelulusan Ujian Nasional SMAN 6 Semarang tanggal 20 Mei 2014.
Halaman ini dipersiapkan untuk pengumuman kelulusan siswa SMAN 6 Semarang tahun ajaran 20013/2014. bagi anda siswa atau orangtua atau siapa saja warga sekolah yang ingin tahu tentang , pada saatnya nanti halaman ini akan berganti dengan pengumuman kelulusan
semua ada disini
Minggu, 16 November 2008
Perkembangan HAM
SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?
http://www.arifpramono.co.cc Read More...
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?
http://www.arifpramono.co.cc Read More...
PEMERINTAHAN TERBUKA VS PEMERINTAHAN TERTUTUP
PEMERINTAHAN TERBUKA VS PEMERINTAHAN TERTUTUP
Oposisi dan pemerintah berbeda pendapat tentang pemerintahan terbuka. Oposisi menyebut kriteria transparansi, pertanggungjawaban, dan hukum. Sedang pemerintah menyebut kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sebagai inti pemerintah terbuka. Mana yang benar?
Perdebatan antara pemerintah dan oposisi tentang pemerin tahan terbuka sebenarnya tidak mengejutkan. Sejak awal terbentuknya Dewan Menteri setelah UNTAET menyerahkan kekuasaannya, sudah muncul tuduhan dari partai-partai oposisi bahwa pemerintah yang dipimpin Mari Alkatiri bersifat tertutup. Seiring dengan berjalannya waktu, tuduhan itu mereda begitu saja, tanpa ada hasil konkret. Pemerintah berjalan terus. Sementara oposisi pindah mengangkat masalah lain lagi, tanpa memperjuangkan secara tuntas masalah yang sudah diangkat.
Lebih lanjut klik :
http://www.ziddu.com/download/2663312/PEMERINTAHANTERBUKAVSPEMERINTAHANTERTUTUP.doc.html Read More...
Oposisi dan pemerintah berbeda pendapat tentang pemerintahan terbuka. Oposisi menyebut kriteria transparansi, pertanggungjawaban, dan hukum. Sedang pemerintah menyebut kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sebagai inti pemerintah terbuka. Mana yang benar?
Perdebatan antara pemerintah dan oposisi tentang pemerin tahan terbuka sebenarnya tidak mengejutkan. Sejak awal terbentuknya Dewan Menteri setelah UNTAET menyerahkan kekuasaannya, sudah muncul tuduhan dari partai-partai oposisi bahwa pemerintah yang dipimpin Mari Alkatiri bersifat tertutup. Seiring dengan berjalannya waktu, tuduhan itu mereda begitu saja, tanpa ada hasil konkret. Pemerintah berjalan terus. Sementara oposisi pindah mengangkat masalah lain lagi, tanpa memperjuangkan secara tuntas masalah yang sudah diangkat.
Lebih lanjut klik :
http://www.ziddu.com/download/2663312/PEMERINTAHANTERBUKAVSPEMERINTAHANTERTUTUP.doc.html Read More...
Ideologi Pancasila
Ideologi Pancasila
Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang memromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an- dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode multipolar.
Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama sekitar satu dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.
Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya.
Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.
Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Kesadaran Berbangsa
Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa.
Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945 terbentuk dengan karakter utamanya mengakui pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final. Oleh karenanya, NKRI tidak dapat diubah menjadi bentuk negara yang lain dan perubahan bentuk NKRI tidak akan difasilitasi oleh NKRI sendiri.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan founding fathers telah membekali kita dengan aspek-aspek normatif negara bangsa yang menganut nilai-nilai yang sangat maju dan modern. Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga bangsa untuk mengimplementasikannya secara konkret. NKRI yang mengakui, menghormati keragaman dan kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat kita pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan kesetaraan. Oleh karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi.
Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang Read More...
Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang memromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an- dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode multipolar.
Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama sekitar satu dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.
Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya.
Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.
Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Kesadaran Berbangsa
Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa.
Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945 terbentuk dengan karakter utamanya mengakui pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final. Oleh karenanya, NKRI tidak dapat diubah menjadi bentuk negara yang lain dan perubahan bentuk NKRI tidak akan difasilitasi oleh NKRI sendiri.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan founding fathers telah membekali kita dengan aspek-aspek normatif negara bangsa yang menganut nilai-nilai yang sangat maju dan modern. Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga bangsa untuk mengimplementasikannya secara konkret. NKRI yang mengakui, menghormati keragaman dan kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat kita pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan kesetaraan. Oleh karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi.
Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang Read More...
Perkembangan Demokratisasi di Indonesia
DEMOKRATISASI DI INDONESIA
� Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, �migrasi� para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para �migran politik� tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
� Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
� Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
� Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Lebih lanjut klik :
http://www.arifpramono76.co.cc Read More...
� Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, �migrasi� para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para �migran politik� tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
� Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
� Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
� Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Lebih lanjut klik :
http://www.arifpramono76.co.cc Read More...
TUJUAN NEGARA
Teori-teori Tujuan Negara
1) Teori Kekuasaan
a. Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.”
Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
lebih lanjut klik :
http://www.arifpramono.co.cc Read More...
1) Teori Kekuasaan
a. Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.”
Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
lebih lanjut klik :
http://www.arifpramono.co.cc Read More...
TUJUAN NEGARA
Teori-teori Tujuan Negara
1) Teori Kekuasaan
a. Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.”
Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
lebih lanjut klik :
http://www.arifpramono.co.cc Read More...
1) Teori Kekuasaan
a. Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.”
Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
lebih lanjut klik :
http://www.arifpramono.co.cc Read More...
Bentuk pemerintahan
Menurut ajaran klasik, bentuk pemerintahan dapat dibedakan atas jumlah orang yang memerintah dan sifat pemerintahannya (baca keterangan berikut), yaitu:
1. Monarkhi, akan menimbulkan Tirani
2. Aristokrasi, akan menimbulkan Oligarkhi
3. Demokrasi, akan menimbulkan Anarkhi
Lebih lanjut klik : http://www.arifpramono76.co.cc Read More...
1. Monarkhi, akan menimbulkan Tirani
2. Aristokrasi, akan menimbulkan Oligarkhi
3. Demokrasi, akan menimbulkan Anarkhi
Lebih lanjut klik : http://www.arifpramono76.co.cc Read More...
Sistem Pemerintahan
Perbedaan tipe kabinet pada umumnya ditentukan oleh:
1. siapa yang bertanggung jawab atas jalannya tugas-tugas pemerintahan (eksekutif);
2. ada tidaknya campur tangan parlemen dalam pembentukan kabinet;
3. susunan personalia kabinet yang dihubungkan dengan kekuatan politik yang ada di parlemen.
Berdasarkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan eksekutif, kabinet dapat dibedakan:
* Kabinet Ministerial, yaitu kabinet yang pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan oleh para menteri kepada parlemen, sedangkan kepala negara selaku pimpinan negara/ pemerintah tidak dapat diganggu gugat.
* Kabinet Presidensial, yaitu kabinet yang pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan oleh presiden. Para menteri tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena para menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai pembantu-pembantu presiden. Sesuai UUD 1945, Indonesia menganut azas the concentration of power and responsibility upon the president.
lebih lanjut klik disini : http://www.arifpramono76.co.cc Read More...
1. siapa yang bertanggung jawab atas jalannya tugas-tugas pemerintahan (eksekutif);
2. ada tidaknya campur tangan parlemen dalam pembentukan kabinet;
3. susunan personalia kabinet yang dihubungkan dengan kekuatan politik yang ada di parlemen.
Berdasarkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan eksekutif, kabinet dapat dibedakan:
* Kabinet Ministerial, yaitu kabinet yang pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan oleh para menteri kepada parlemen, sedangkan kepala negara selaku pimpinan negara/ pemerintah tidak dapat diganggu gugat.
* Kabinet Presidensial, yaitu kabinet yang pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan oleh presiden. Para menteri tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena para menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai pembantu-pembantu presiden. Sesuai UUD 1945, Indonesia menganut azas the concentration of power and responsibility upon the president.
lebih lanjut klik disini : http://www.arifpramono76.co.cc Read More...
Jumat, 31 Oktober 2008
Bahan Ajar PKn
Bagi anda yang membutuhkan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan atau siswa-siswi untuk belajar, saya siapkan untuk anda dengan format powerpoint:
Mohon bagi yang mendownload tinggalkan pesan/komentar anda di blog ini :
Download file ( copypaste )
1. Materi PKn Kelas X
a.http://www.4shared.com/file/68212936/b34448dc/BAB-1_Hakikat-BgsNKRI.html
b.http://www.4shared.com/file/68213450/bc19be59/BAB-1_Hakikat-BgsNKRI.html
c.http://www.4shared.com/file/68213695/6342d1b4/BAB-2_Sistem-HukumLembaga-Peradilan.html
d.http://www.4shared.com/file/68213920/fb80bbcd/BAB-3_Hak-Asasi-Manusia.html
e.http://www.4shared.com/file/68214052/c8c94f10/BAB-4_Dasar-NegaraKonstitusi.html
f.http://www.4shared.com/file/68214115/33037580/BAB-5_Warga-NegaraPewarganegaraan.html
g.http://www.4shared.com/file/68213429/8a84903a/BAB-6_Sistem-Politik.html
Maap untuk kelas XI dan XII dalam proses Read More...
Mohon bagi yang mendownload tinggalkan pesan/komentar anda di blog ini :
Download file ( copypaste )
1. Materi PKn Kelas X
a.http://www.4shared.com/file/68212936/b34448dc/BAB-1_Hakikat-BgsNKRI.html
b.http://www.4shared.com/file/68213450/bc19be59/BAB-1_Hakikat-BgsNKRI.html
c.http://www.4shared.com/file/68213695/6342d1b4/BAB-2_Sistem-HukumLembaga-Peradilan.html
d.http://www.4shared.com/file/68213920/fb80bbcd/BAB-3_Hak-Asasi-Manusia.html
e.http://www.4shared.com/file/68214052/c8c94f10/BAB-4_Dasar-NegaraKonstitusi.html
f.http://www.4shared.com/file/68214115/33037580/BAB-5_Warga-NegaraPewarganegaraan.html
g.http://www.4shared.com/file/68213429/8a84903a/BAB-6_Sistem-Politik.html
Maap untuk kelas XI dan XII dalam proses Read More...
Jumat, 24 Oktober 2008
Pemahaman Korupsi Dalam Sebuah Pengantar
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah
Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3. Penetapan harga penjualan atau ruislag.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi.
Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.
Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan?
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar.
Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat cialam tiga tahun terakhir harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi. Indonesia masih tetap merupakan negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.
Usaho pemberantasan korupsi jelas tidak muciah. Kesulitan itu kelihatan semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat; menjadi berurat berakar dalam masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap mesti dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Makalah singkat ini berusaha membahas tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk pemberantasan korupsi, khususnya dilihat dari perspektif pembentukan good governance.
Korupsi dan Politik
Sebelum kita melangkah lebih jauh-berbicara tentang pemberantasan korupsi ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang definisi korupsi, yang kini di Indonesia disebut dalam tarikan nafas yang sama sebagai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Secara umum, istilah korupsi selama ini mengacu kepada berbagai tindakan gelap don tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Tetapi dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntungan pribadi
Berdasarkan pengertian ini Philip (1997) mengidentifikosi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kontor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikon sebagai tingkah laku don tindakan seseorang pejobat publikyang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau otau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabot, don teman. Pengertian ini, seperti terlihat, juga mencakup kolusi don nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakantindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau mated lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.
Dari cakupan ketiga kelompok pengertian korupsi di atas, berbagai kajian akademis, organisasi internasional seperti ADB, World Bank, Transparency International dan lain-lain dan para pejabat pemerintah yang diduga melakukan korupsi (Kaufmann 1977), akhirnya mengambil pengertian minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk kasus korupsi. Pengertian minimalis itu dirumuskan Leiken, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan [material] pribadi atau kemanfaatan politik (cf. Leiken 1997:55-73).
Mengelaborasi pengertian minimalis di atas, World Bank merinci bentuk-bentuk tindakan yang termasuk ke dajam korupsi, yakni: Public office is abused for private gain when an official accepts solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues (World Bank 1997).
Pengertian minimalis senada juga dikemukakan Syed Hussein Alatas (1990:3-4). Menurut Alatas, °corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dari pengertian minimalis ini, Alatas mengembangkan beberapa tipologi korupsi. Pertama, °korupsi transaktif ; yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak; kedua, Norupsi ekstortif ; yakni korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghidari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi; ketiga, Norupsi investif ; yakni korupsi yang bermula dengan tawaran/iming-iming yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
keempat, Norupsi nepotistik ; yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat; kelima, Norupsi otogenik ; yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider's information) tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan; dan keenam, korupsi supportif'; yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
Demikianlah, dengan pengertian yang semula minimalis korupsi bisa dirinci ke dalam berbagai tipologi dan kategori. Lebih jauh, korupsi dapat juga dirumuskan berdasarkan tempat terjadinya; pada tingkat politik dan birokrasi di dalam sektor publik, atau dalam sektor swasta. Korupsi juga dapat dirumuskan dalam tingkat intensitasnya; apakah tindakan korupsi itu berlangsung secara isolatif atau sistematik. Kategori lainnya mencakup: korupsi benar-besaran dan kecil-kecilan; korupsi nasional dan lokal; personal dan institusional; dan korupsi tradisional dan moderen.
Seluruh kategori, tipologi, atau jenis korupsi ini sangat membantu tidak hanya untuk mengenali berbagai bentuk korupsi itu sendiri, tetapi juga penyebabnya, konsekuensi-konsekuensinya, dan cara-cara pemecahannya. Dengan demikian, tipologi, kategori dan jenis jenis korupsi tersebut akan menentukan prognosa untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, pemahaman yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyebab dan konsekuensi-konsekuensi korupsi sangat penting bagi perumusan sebuah strategi untuk memobilisasi gerakan anti korupsi dan membangun kemauan politik untuk melawan korupsi. Strategi itu mencakup pengembangan tiga hal; pertama, kemampuan mengartikulasikan berbagai konsekuensi korupsi terhadap sistem ekonomi, politik dan sosial merupakan hal sangat krusial untuk melibatkan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam usaha-usaha antikorupsi dan membangun koalisi untuk reformasi dan pembentukan good governance; kedua, pemahaman tentang kenapa kepemimpinan politik dan birokrasi sewaktu-waktu membicarakan soal korupsi tetapi tidak pada kesempatan lain sangat esensial untuk mendekonstruksi pengaturanpengaturan kolusif yang ada;
ketiga, pemahaman lebih baik juga diperlukan tentang bagaimana tuntutan bagi pemberantasan korupsi dapai: dimobilisasi, dan bagaimana komitmen kepada gerakan anti-korupsi dari kepemimpinan politik dan birokrasi dapat diperoleh sehingga dapat menjamin sustainability adanya kebijakan-kebijakan khusus dan perubahan-perubahan institusional yang diperlukan untuk memberantas korupsi.
Tata Pemerintahan Yang Baik dan Korupsi
Dengan mengenali berbagai kategori, tipologi dan jenis korupsi serta faktor-faktor penyebab kemunculannya dalam konteks situasi tertentu, barulah reformasi anti-korupsi dapat dilakukan. Secara singkat, gerakan anti-korupsi ini merupakan proses dua tahap. Pertama, tahap perumusan kebijaksanaan untuk menangani penyebab-penyebab pokok korupsi; dan kedua, penciptaan dan penumbuhan kemauan politik (political will) yang sangat krusial bagi implementasi gerakan reformasi anti-korupsi.
Kedua tahap mencerminkan peranan krusial pemerintahan dan birokrasi umumnya dalam gerakan anti korupsi. Dan ini membutuhkan terwujudnya good governance yang demokratis, kredibel, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan sektor publik. Karena itu langkah krusial paling awal dalam pemberantasan korupsi adalah meningkatkan tuntutan-tuntutan bagi reformasi pertama kali pada level pemerintahan, kemudian pada level masyarakat bisnis, dan publik pada umumnya.
Seperti dikutip paling awal dalam makalah ini, komitmen yang ikhlas, dan tulus dari kepemimpinan tertinggi dan tinggi negara merupakan komponen sangat krusial bagi keberhasilan kampanye antikorupsi. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Sering sekali kepemimpinan politik dan birokrasi hanya secara sporadis dan adhoc berbicara tentang pemberantasan korupsi.
Karena itu, terdapat kesan bahwa kepemimpinan politik dan birokrasi berbicara tentang korupsi hanya untuk kepentingan konsumsi politik publik, dan untuk mendapatkan legitimasi tambahan melalui isyu anti-korupsi. Secara unum, terdapat kecenderungan analisis untung-rugi politik (political cost-benefit analysis) dari pihak kepemimpinan politik dan birokrasi menjadi faktor menentukan eksistensi dan, sebaliknya, ketiadaan/kekurangan kebijakan resmi atau tindakan kongkrit terhadap korupsi. Karena itu, merupakan tugas lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya untuk terus melakukan pressure agar selalu muncul kemauan politik dari kepemimpinan politik untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah kongkrit bagi pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya, terdapat tiga macam kebijakan resmi yang dapat diambil kepemimpinan politik untuk secara efektif dapat mengurangi jika tidak menghabiskan sama sekali berbagai bentuk korupsi. Pertama, mengubah kebijakan yang mendorong orang atau memberikan kesempatan bagi terjadinya korupsi; kedua, menata kembali struktur penggajian dan insentif material lainnya yang berlaku pada lembaga-lembaga administrasi-birokrasi dan institusi-institusi politik lainnya; ketiga, mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan dan kapasitas penegakan hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif, dan berkesinambungan.
Pada tahap berikutnya, ketiga kebijakan di atas dapat dipadukan dengan rekomendasi yang diberikan World Bank (1997:105) tentang strategi untuk pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ada tiga komponen penting yang tercakup dalam strategi pemberantasan korupsi:
Pertama, membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan merit dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrari.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya hendaklah juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga sekali lagi pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini:
Pertama, memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol tersebut bisa berfungsi baik. Dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan.
Hal terakhir ini dapat dicapai melalui kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan administratif, transparansi yang lebih besar dari pihak pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan. Yang terakhir, mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi tentang konsep-konsep seperti Nantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.
Penutup
Momentum bagi pemberantasan korupsi di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dan momentum itu telah diformalisasikan di dalam ketetapan don kebijakon resmi negara, baik pada level MPR, DPR maupun eksekutif. Dan bahkan sekorang sedang disiapkan don dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan pembentukan KPTPK yang memiliki wewenang sangat luas, publik berharap pemberantasan korupsi dapat kembali menemukan momentumnya.
Meski sempat mengalami sedikit pasang surut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, momentum untuk memberantas korupsi nampaknya sedikit meningkat pada awal masa Presiden Megawati. Presiden Megawati dalam pidatonya menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 56 di depan Sidang Paripurna DPR menyatakan tekadnya untuk tidak memberikan kesempotan bagi berkembangnya tindakan-tindakan KKN dimulai dengan keluarga terdekatnya sendiri.
Terakhir dalam sebuah kesempatan perjalanannya keliling negara-negara ASEAN, Presiden Megawati berencana untuk menyiapkan RUU Anti-KKN. Pernyataan-pernyataan Presiden Megawati don pembentukan KPTPK mengisyaratkan adanya semacam political will untuk memberantas korupsi yang telah banyak disinggung di atas. Tetapi aktualisasi pemberantasan korupsi secara kongkrit rnasih harus ditunggu.
Bahkan, dalam banyak kalangan publik sekarang muncul kesan yang semakin kuat bahwa pejabat-pejabat publik Indonesia tidak serius memberantas korupsi. Atau, paling banter hanya menjadi lips service belaka.
Tetapi, saya lira, publik seharusnya tidak menunggu entah sampai kapan munculnya usaha-usaha kongkrit dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi. Sementara itu, publik justru harus meningkatkan public pressure yang seperti dikemukakan terdahulu sangat krusial dalam usaha pemberantasan korupsi.
Kita bersyukur, pada akhirnya organisasi-organisasi Muslim terbesar di negeri ini; NU dan Muhammadiyah dalam beberapa waktu terakhir melalui kerjasama dengan Partnership for Governance Reform telah dan sedang melancarkan kampanye dan gerakan anti korupsi (Azra 2003). Kampanye publik ini sebuah langkoh maju, tetapi masih diperlukan lagi langkah-langkah dan aksi lebih kongkrit dari publik dan masyarakat secara keseluruhan untuk menolak praktek-praktek korupsi, Walahu a ' lam bish-shawab. (Azyumardi Azra, Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bibliografi
Alatas, Syed Hussein, 1990, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, aldershot, Brookfield, Vt.: Avebury
Azra, Azyumardi, 2003,”Agama dan pemberantasan Korupsi”, Kompas, 5 Oktober,2003.
Elliot, Kimberly A, 1997,”Corruption as a Global Policy Problem: Overview and Recommendations”, in Corruption and the Global Economy, Washington D.C.: Institute for Global Economics
Heywood, Paul, 1997,”Political Corruption: Problems and Perspectives”, Political Studies, Vol 45, No.3, Special Issue.
-------------------
Makalah disampaikan dalam seminar internasional: Praktek-Praktek yang baik Dalam Memerangi Korupsi di Asia, diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia, bersama Kementerian PAN, IPW, AJI, ICW, dan GTZ di Hotel Le Meridien Jakarta,
Read More...
Pengertian Tidak Pidana Korupsi
UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 , menyebutkan bahwa pengertian korupsi setidaknya mencakup segala perbuatan :
• Melawan Hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).
• Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3).
• Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11)
• Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10)
• Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
• Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
• Delik Gratifikasi ( pasal 12B dan 12C)
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut. Read More...
• Melawan Hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).
• Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3).
• Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11)
• Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10)
• Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
• Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
• Delik Gratifikasi ( pasal 12B dan 12C)
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut. Read More...
Pemahaman Korupsi dalam sebuah pengantar
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah
Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3. Penetapan harga penjualan atau ruislag.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi.
Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.
Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan?
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar.
Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat cialam tiga tahun terakhir harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi. Indonesia masih tetap merupakan negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.
Usaho pemberantasan korupsi jelas tidak muciah. Kesulitan itu kelihatan semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat; menjadi berurat berakar dalam masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap mesti dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Makalah singkat ini berusaha membahas tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk pemberantasan korupsi, khususnya dilihat dari perspektif pembentukan good governance.
Korupsi dan Politik
Sebelum kita melangkah lebih jauh-berbicara tentang pemberantasan korupsi ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang definisi korupsi, yang kini di Indonesia disebut dalam tarikan nafas yang sama sebagai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Secara umum, istilah korupsi selama ini mengacu kepada berbagai tindakan gelap don tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Tetapi dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntungan pribadi
Berdasarkan pengertian ini Philip (1997) mengidentifikosi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kontor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikon sebagai tingkah laku don tindakan seseorang pejobat publikyang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau otau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabot, don teman. Pengertian ini, seperti terlihat, juga mencakup kolusi don nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakantindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau mated lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.
Dari cakupan ketiga kelompok pengertian korupsi di atas, berbagai kajian akademis, organisasi internasional seperti ADB, World Bank, Transparency International dan lain-lain dan para pejabat pemerintah yang diduga melakukan korupsi (Kaufmann 1977), akhirnya mengambil pengertian minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk kasus korupsi. Pengertian minimalis itu dirumuskan Leiken, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan [material] pribadi atau kemanfaatan politik (cf. Leiken 1997:55-73).
Mengelaborasi pengertian minimalis di atas, World Bank merinci bentuk-bentuk tindakan yang termasuk ke dajam korupsi, yakni: Public office is abused for private gain when an official accepts solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues (World Bank 1997).
Pengertian minimalis senada juga dikemukakan Syed Hussein Alatas (1990:3-4). Menurut Alatas, °corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dari pengertian minimalis ini, Alatas mengembangkan beberapa tipologi korupsi. Pertama, °korupsi transaktif ; yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak; kedua, Norupsi ekstortif ; yakni korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghidari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi; ketiga, Norupsi investif ; yakni korupsi yang bermula dengan tawaran/iming-iming yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
keempat, Norupsi nepotistik ; yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat; kelima, Norupsi otogenik ; yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider's information) tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan; dan keenam, korupsi supportif'; yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
Demikianlah, dengan pengertian yang semula minimalis korupsi bisa dirinci ke dalam berbagai tipologi dan kategori. Lebih jauh, korupsi dapat juga dirumuskan berdasarkan tempat terjadinya; pada tingkat politik dan birokrasi di dalam sektor publik, atau dalam sektor swasta. Korupsi juga dapat dirumuskan dalam tingkat intensitasnya; apakah tindakan korupsi itu berlangsung secara isolatif atau sistematik. Kategori lainnya mencakup: korupsi benar-besaran dan kecil-kecilan; korupsi nasional dan lokal; personal dan institusional; dan korupsi tradisional dan moderen.
Seluruh kategori, tipologi, atau jenis korupsi ini sangat membantu tidak hanya untuk mengenali berbagai bentuk korupsi itu sendiri, tetapi juga penyebabnya, konsekuensi-konsekuensinya, dan cara-cara pemecahannya. Dengan demikian, tipologi, kategori dan jenis jenis korupsi tersebut akan menentukan prognosa untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, pemahaman yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyebab dan konsekuensi-konsekuensi korupsi sangat penting bagi perumusan sebuah strategi untuk memobilisasi gerakan anti korupsi dan membangun kemauan politik untuk melawan korupsi. Strategi itu mencakup pengembangan tiga hal; pertama, kemampuan mengartikulasikan berbagai konsekuensi korupsi terhadap sistem ekonomi, politik dan sosial merupakan hal sangat krusial untuk melibatkan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam usaha-usaha antikorupsi dan membangun koalisi untuk reformasi dan pembentukan good governance; kedua, pemahaman tentang kenapa kepemimpinan politik dan birokrasi sewaktu-waktu membicarakan soal korupsi tetapi tidak pada kesempatan lain sangat esensial untuk mendekonstruksi pengaturanpengaturan kolusif yang ada;
ketiga, pemahaman lebih baik juga diperlukan tentang bagaimana tuntutan bagi pemberantasan korupsi dapai: dimobilisasi, dan bagaimana komitmen kepada gerakan anti-korupsi dari kepemimpinan politik dan birokrasi dapat diperoleh sehingga dapat menjamin sustainability adanya kebijakan-kebijakan khusus dan perubahan-perubahan institusional yang diperlukan untuk memberantas korupsi.
Tata Pemerintahan Yang Baik dan Korupsi
Dengan mengenali berbagai kategori, tipologi dan jenis korupsi serta faktor-faktor penyebab kemunculannya dalam konteks situasi tertentu, barulah reformasi anti-korupsi dapat dilakukan. Secara singkat, gerakan anti-korupsi ini merupakan proses dua tahap. Pertama, tahap perumusan kebijaksanaan untuk menangani penyebab-penyebab pokok korupsi; dan kedua, penciptaan dan penumbuhan kemauan politik (political will) yang sangat krusial bagi implementasi gerakan reformasi anti-korupsi.
Kedua tahap mencerminkan peranan krusial pemerintahan dan birokrasi umumnya dalam gerakan anti korupsi. Dan ini membutuhkan terwujudnya good governance yang demokratis, kredibel, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan sektor publik. Karena itu langkah krusial paling awal dalam pemberantasan korupsi adalah meningkatkan tuntutan-tuntutan bagi reformasi pertama kali pada level pemerintahan, kemudian pada level masyarakat bisnis, dan publik pada umumnya.
Seperti dikutip paling awal dalam makalah ini, komitmen yang ikhlas, dan tulus dari kepemimpinan tertinggi dan tinggi negara merupakan komponen sangat krusial bagi keberhasilan kampanye antikorupsi. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Sering sekali kepemimpinan politik dan birokrasi hanya secara sporadis dan adhoc berbicara tentang pemberantasan korupsi.
Karena itu, terdapat kesan bahwa kepemimpinan politik dan birokrasi berbicara tentang korupsi hanya untuk kepentingan konsumsi politik publik, dan untuk mendapatkan legitimasi tambahan melalui isyu anti-korupsi. Secara unum, terdapat kecenderungan analisis untung-rugi politik (political cost-benefit analysis) dari pihak kepemimpinan politik dan birokrasi menjadi faktor menentukan eksistensi dan, sebaliknya, ketiadaan/kekurangan kebijakan resmi atau tindakan kongkrit terhadap korupsi. Karena itu, merupakan tugas lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya untuk terus melakukan pressure agar selalu muncul kemauan politik dari kepemimpinan politik untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah kongkrit bagi pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya, terdapat tiga macam kebijakan resmi yang dapat diambil kepemimpinan politik untuk secara efektif dapat mengurangi jika tidak menghabiskan sama sekali berbagai bentuk korupsi. Pertama, mengubah kebijakan yang mendorong orang atau memberikan kesempatan bagi terjadinya korupsi; kedua, menata kembali struktur penggajian dan insentif material lainnya yang berlaku pada lembaga-lembaga administrasi-birokrasi dan institusi-institusi politik lainnya; ketiga, mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan dan kapasitas penegakan hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif, dan berkesinambungan.
Pada tahap berikutnya, ketiga kebijakan di atas dapat dipadukan dengan rekomendasi yang diberikan World Bank (1997:105) tentang strategi untuk pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ada tiga komponen penting yang tercakup dalam strategi pemberantasan korupsi:
Pertama, membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan merit dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrari.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya hendaklah juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga sekali lagi pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini:
Pertama, memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol tersebut bisa berfungsi baik. Dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan.
Hal terakhir ini dapat dicapai melalui kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan administratif, transparansi yang lebih besar dari pihak pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan. Yang terakhir, mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi tentang konsep-konsep seperti Nantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.
Penutup
Momentum bagi pemberantasan korupsi di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dan momentum itu telah diformalisasikan di dalam ketetapan don kebijakon resmi negara, baik pada level MPR, DPR maupun eksekutif. Dan bahkan sekorang sedang disiapkan don dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan pembentukan KPTPK yang memiliki wewenang sangat luas, publik berharap pemberantasan korupsi dapat kembali menemukan momentumnya.
Meski sempat mengalami sedikit pasang surut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, momentum untuk memberantas korupsi nampaknya sedikit meningkat pada awal masa Presiden Megawati. Presiden Megawati dalam pidatonya menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 56 di depan Sidang Paripurna DPR menyatakan tekadnya untuk tidak memberikan kesempotan bagi berkembangnya tindakan-tindakan KKN dimulai dengan keluarga terdekatnya sendiri.
Terakhir dalam sebuah kesempatan perjalanannya keliling negara-negara ASEAN, Presiden Megawati berencana untuk menyiapkan RUU Anti-KKN. Pernyataan-pernyataan Presiden Megawati don pembentukan KPTPK mengisyaratkan adanya semacam political will untuk memberantas korupsi yang telah banyak disinggung di atas. Tetapi aktualisasi pemberantasan korupsi secara kongkrit rnasih harus ditunggu.
Bahkan, dalam banyak kalangan publik sekarang muncul kesan yang semakin kuat bahwa pejabat-pejabat publik Indonesia tidak serius memberantas korupsi. Atau, paling banter hanya menjadi lips service belaka.
Tetapi, saya lira, publik seharusnya tidak menunggu entah sampai kapan munculnya usaha-usaha kongkrit dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi. Sementara itu, publik justru harus meningkatkan public pressure yang seperti dikemukakan terdahulu sangat krusial dalam usaha pemberantasan korupsi.
Kita bersyukur, pada akhirnya organisasi-organisasi Muslim terbesar di negeri ini; NU dan Muhammadiyah dalam beberapa waktu terakhir melalui kerjasama dengan Partnership for Governance Reform telah dan sedang melancarkan kampanye dan gerakan anti korupsi (Azra 2003). Kampanye publik ini sebuah langkoh maju, tetapi masih diperlukan lagi langkah-langkah dan aksi lebih kongkrit dari publik dan masyarakat secara keseluruhan untuk menolak praktek-praktek korupsi, Walahu a ' lam bish-shawab. (Azyumardi Azra, Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bibliografi
Alatas, Syed Hussein, 1990, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, aldershot, Brookfield, Vt.: Avebury
Azra, Azyumardi, 2003,”Agama dan pemberantasan Korupsi”, Kompas, 5 Oktober,2003.
Elliot, Kimberly A, 1997,”Corruption as a Global Policy Problem: Overview and Recommendations”, in Corruption and the Global Economy, Washington D.C.: Institute for Global Economics
Heywood, Paul, 1997,”Political Corruption: Problems and Perspectives”, Political Studies, Vol 45, No.3, Special Issue.
-------------------
Makalah disampaikan dalam seminar internasional: Praktek-Praktek yang baik Dalam Memerangi Korupsi di Asia, diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia, bersama Kementerian PAN, IPW, AJI, ICW, dan GTZ di Hotel Le Meridien Jakarta, Read More...
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah
Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3. Penetapan harga penjualan atau ruislag.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi.
Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.
Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan?
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar.
Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat cialam tiga tahun terakhir harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi. Indonesia masih tetap merupakan negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.
Usaho pemberantasan korupsi jelas tidak muciah. Kesulitan itu kelihatan semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat; menjadi berurat berakar dalam masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap mesti dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Makalah singkat ini berusaha membahas tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk pemberantasan korupsi, khususnya dilihat dari perspektif pembentukan good governance.
Korupsi dan Politik
Sebelum kita melangkah lebih jauh-berbicara tentang pemberantasan korupsi ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang definisi korupsi, yang kini di Indonesia disebut dalam tarikan nafas yang sama sebagai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Secara umum, istilah korupsi selama ini mengacu kepada berbagai tindakan gelap don tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Tetapi dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntungan pribadi
Berdasarkan pengertian ini Philip (1997) mengidentifikosi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kontor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikon sebagai tingkah laku don tindakan seseorang pejobat publikyang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau otau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabot, don teman. Pengertian ini, seperti terlihat, juga mencakup kolusi don nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakantindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau mated lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.
Dari cakupan ketiga kelompok pengertian korupsi di atas, berbagai kajian akademis, organisasi internasional seperti ADB, World Bank, Transparency International dan lain-lain dan para pejabat pemerintah yang diduga melakukan korupsi (Kaufmann 1977), akhirnya mengambil pengertian minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk kasus korupsi. Pengertian minimalis itu dirumuskan Leiken, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan [material] pribadi atau kemanfaatan politik (cf. Leiken 1997:55-73).
Mengelaborasi pengertian minimalis di atas, World Bank merinci bentuk-bentuk tindakan yang termasuk ke dajam korupsi, yakni: Public office is abused for private gain when an official accepts solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues (World Bank 1997).
Pengertian minimalis senada juga dikemukakan Syed Hussein Alatas (1990:3-4). Menurut Alatas, °corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dari pengertian minimalis ini, Alatas mengembangkan beberapa tipologi korupsi. Pertama, °korupsi transaktif ; yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak; kedua, Norupsi ekstortif ; yakni korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghidari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi; ketiga, Norupsi investif ; yakni korupsi yang bermula dengan tawaran/iming-iming yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
keempat, Norupsi nepotistik ; yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat; kelima, Norupsi otogenik ; yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider's information) tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan; dan keenam, korupsi supportif'; yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
Demikianlah, dengan pengertian yang semula minimalis korupsi bisa dirinci ke dalam berbagai tipologi dan kategori. Lebih jauh, korupsi dapat juga dirumuskan berdasarkan tempat terjadinya; pada tingkat politik dan birokrasi di dalam sektor publik, atau dalam sektor swasta. Korupsi juga dapat dirumuskan dalam tingkat intensitasnya; apakah tindakan korupsi itu berlangsung secara isolatif atau sistematik. Kategori lainnya mencakup: korupsi benar-besaran dan kecil-kecilan; korupsi nasional dan lokal; personal dan institusional; dan korupsi tradisional dan moderen.
Seluruh kategori, tipologi, atau jenis korupsi ini sangat membantu tidak hanya untuk mengenali berbagai bentuk korupsi itu sendiri, tetapi juga penyebabnya, konsekuensi-konsekuensinya, dan cara-cara pemecahannya. Dengan demikian, tipologi, kategori dan jenis jenis korupsi tersebut akan menentukan prognosa untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, pemahaman yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyebab dan konsekuensi-konsekuensi korupsi sangat penting bagi perumusan sebuah strategi untuk memobilisasi gerakan anti korupsi dan membangun kemauan politik untuk melawan korupsi. Strategi itu mencakup pengembangan tiga hal; pertama, kemampuan mengartikulasikan berbagai konsekuensi korupsi terhadap sistem ekonomi, politik dan sosial merupakan hal sangat krusial untuk melibatkan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam usaha-usaha antikorupsi dan membangun koalisi untuk reformasi dan pembentukan good governance; kedua, pemahaman tentang kenapa kepemimpinan politik dan birokrasi sewaktu-waktu membicarakan soal korupsi tetapi tidak pada kesempatan lain sangat esensial untuk mendekonstruksi pengaturanpengaturan kolusif yang ada;
ketiga, pemahaman lebih baik juga diperlukan tentang bagaimana tuntutan bagi pemberantasan korupsi dapai: dimobilisasi, dan bagaimana komitmen kepada gerakan anti-korupsi dari kepemimpinan politik dan birokrasi dapat diperoleh sehingga dapat menjamin sustainability adanya kebijakan-kebijakan khusus dan perubahan-perubahan institusional yang diperlukan untuk memberantas korupsi.
Tata Pemerintahan Yang Baik dan Korupsi
Dengan mengenali berbagai kategori, tipologi dan jenis korupsi serta faktor-faktor penyebab kemunculannya dalam konteks situasi tertentu, barulah reformasi anti-korupsi dapat dilakukan. Secara singkat, gerakan anti-korupsi ini merupakan proses dua tahap. Pertama, tahap perumusan kebijaksanaan untuk menangani penyebab-penyebab pokok korupsi; dan kedua, penciptaan dan penumbuhan kemauan politik (political will) yang sangat krusial bagi implementasi gerakan reformasi anti-korupsi.
Kedua tahap mencerminkan peranan krusial pemerintahan dan birokrasi umumnya dalam gerakan anti korupsi. Dan ini membutuhkan terwujudnya good governance yang demokratis, kredibel, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan sektor publik. Karena itu langkah krusial paling awal dalam pemberantasan korupsi adalah meningkatkan tuntutan-tuntutan bagi reformasi pertama kali pada level pemerintahan, kemudian pada level masyarakat bisnis, dan publik pada umumnya.
Seperti dikutip paling awal dalam makalah ini, komitmen yang ikhlas, dan tulus dari kepemimpinan tertinggi dan tinggi negara merupakan komponen sangat krusial bagi keberhasilan kampanye antikorupsi. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Sering sekali kepemimpinan politik dan birokrasi hanya secara sporadis dan adhoc berbicara tentang pemberantasan korupsi.
Karena itu, terdapat kesan bahwa kepemimpinan politik dan birokrasi berbicara tentang korupsi hanya untuk kepentingan konsumsi politik publik, dan untuk mendapatkan legitimasi tambahan melalui isyu anti-korupsi. Secara unum, terdapat kecenderungan analisis untung-rugi politik (political cost-benefit analysis) dari pihak kepemimpinan politik dan birokrasi menjadi faktor menentukan eksistensi dan, sebaliknya, ketiadaan/kekurangan kebijakan resmi atau tindakan kongkrit terhadap korupsi. Karena itu, merupakan tugas lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya untuk terus melakukan pressure agar selalu muncul kemauan politik dari kepemimpinan politik untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah kongkrit bagi pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya, terdapat tiga macam kebijakan resmi yang dapat diambil kepemimpinan politik untuk secara efektif dapat mengurangi jika tidak menghabiskan sama sekali berbagai bentuk korupsi. Pertama, mengubah kebijakan yang mendorong orang atau memberikan kesempatan bagi terjadinya korupsi; kedua, menata kembali struktur penggajian dan insentif material lainnya yang berlaku pada lembaga-lembaga administrasi-birokrasi dan institusi-institusi politik lainnya; ketiga, mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan dan kapasitas penegakan hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif, dan berkesinambungan.
Pada tahap berikutnya, ketiga kebijakan di atas dapat dipadukan dengan rekomendasi yang diberikan World Bank (1997:105) tentang strategi untuk pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ada tiga komponen penting yang tercakup dalam strategi pemberantasan korupsi:
Pertama, membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan merit dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrari.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya hendaklah juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga sekali lagi pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini:
Pertama, memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol tersebut bisa berfungsi baik. Dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan.
Hal terakhir ini dapat dicapai melalui kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan administratif, transparansi yang lebih besar dari pihak pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan. Yang terakhir, mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi tentang konsep-konsep seperti Nantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.
Penutup
Momentum bagi pemberantasan korupsi di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dan momentum itu telah diformalisasikan di dalam ketetapan don kebijakon resmi negara, baik pada level MPR, DPR maupun eksekutif. Dan bahkan sekorang sedang disiapkan don dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan pembentukan KPTPK yang memiliki wewenang sangat luas, publik berharap pemberantasan korupsi dapat kembali menemukan momentumnya.
Meski sempat mengalami sedikit pasang surut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, momentum untuk memberantas korupsi nampaknya sedikit meningkat pada awal masa Presiden Megawati. Presiden Megawati dalam pidatonya menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 56 di depan Sidang Paripurna DPR menyatakan tekadnya untuk tidak memberikan kesempotan bagi berkembangnya tindakan-tindakan KKN dimulai dengan keluarga terdekatnya sendiri.
Terakhir dalam sebuah kesempatan perjalanannya keliling negara-negara ASEAN, Presiden Megawati berencana untuk menyiapkan RUU Anti-KKN. Pernyataan-pernyataan Presiden Megawati don pembentukan KPTPK mengisyaratkan adanya semacam political will untuk memberantas korupsi yang telah banyak disinggung di atas. Tetapi aktualisasi pemberantasan korupsi secara kongkrit rnasih harus ditunggu.
Bahkan, dalam banyak kalangan publik sekarang muncul kesan yang semakin kuat bahwa pejabat-pejabat publik Indonesia tidak serius memberantas korupsi. Atau, paling banter hanya menjadi lips service belaka.
Tetapi, saya lira, publik seharusnya tidak menunggu entah sampai kapan munculnya usaha-usaha kongkrit dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi. Sementara itu, publik justru harus meningkatkan public pressure yang seperti dikemukakan terdahulu sangat krusial dalam usaha pemberantasan korupsi.
Kita bersyukur, pada akhirnya organisasi-organisasi Muslim terbesar di negeri ini; NU dan Muhammadiyah dalam beberapa waktu terakhir melalui kerjasama dengan Partnership for Governance Reform telah dan sedang melancarkan kampanye dan gerakan anti korupsi (Azra 2003). Kampanye publik ini sebuah langkoh maju, tetapi masih diperlukan lagi langkah-langkah dan aksi lebih kongkrit dari publik dan masyarakat secara keseluruhan untuk menolak praktek-praktek korupsi, Walahu a ' lam bish-shawab. (Azyumardi Azra, Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bibliografi
Alatas, Syed Hussein, 1990, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, aldershot, Brookfield, Vt.: Avebury
Azra, Azyumardi, 2003,”Agama dan pemberantasan Korupsi”, Kompas, 5 Oktober,2003.
Elliot, Kimberly A, 1997,”Corruption as a Global Policy Problem: Overview and Recommendations”, in Corruption and the Global Economy, Washington D.C.: Institute for Global Economics
Heywood, Paul, 1997,”Political Corruption: Problems and Perspectives”, Political Studies, Vol 45, No.3, Special Issue.
-------------------
Makalah disampaikan dalam seminar internasional: Praktek-Praktek yang baik Dalam Memerangi Korupsi di Asia, diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia, bersama Kementerian PAN, IPW, AJI, ICW, dan GTZ di Hotel Le Meridien Jakarta, Read More...
Pemahaman Korupsi dalam sebuah pengantar
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah
Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3. Penetapan harga penjualan atau ruislag.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi.
Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.
Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan?
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar.
Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat cialam tiga tahun terakhir harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi. Indonesia masih tetap merupakan negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.
Usaho pemberantasan korupsi jelas tidak muciah. Kesulitan itu kelihatan semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat; menjadi berurat berakar dalam masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap mesti dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Makalah singkat ini berusaha membahas tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk pemberantasan korupsi, khususnya dilihat dari perspektif pembentukan good governance.
Korupsi dan Politik
Sebelum kita melangkah lebih jauh-berbicara tentang pemberantasan korupsi ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang definisi korupsi, yang kini di Indonesia disebut dalam tarikan nafas yang sama sebagai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Secara umum, istilah korupsi selama ini mengacu kepada berbagai tindakan gelap don tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Tetapi dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntungan pribadi
Berdasarkan pengertian ini Philip (1997) mengidentifikosi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kontor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikon sebagai tingkah laku don tindakan seseorang pejobat publikyang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau otau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabot, don teman. Pengertian ini, seperti terlihat, juga mencakup kolusi don nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakantindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau mated lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.
Dari cakupan ketiga kelompok pengertian korupsi di atas, berbagai kajian akademis, organisasi internasional seperti ADB, World Bank, Transparency International dan lain-lain dan para pejabat pemerintah yang diduga melakukan korupsi (Kaufmann 1977), akhirnya mengambil pengertian minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk kasus korupsi. Pengertian minimalis itu dirumuskan Leiken, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan [material] pribadi atau kemanfaatan politik (cf. Leiken 1997:55-73).
Mengelaborasi pengertian minimalis di atas, World Bank merinci bentuk-bentuk tindakan yang termasuk ke dajam korupsi, yakni: Public office is abused for private gain when an official accepts solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues (World Bank 1997).
Pengertian minimalis senada juga dikemukakan Syed Hussein Alatas (1990:3-4). Menurut Alatas, °corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dari pengertian minimalis ini, Alatas mengembangkan beberapa tipologi korupsi. Pertama, °korupsi transaktif ; yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak; kedua, Norupsi ekstortif ; yakni korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghidari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi; ketiga, Norupsi investif ; yakni korupsi yang bermula dengan tawaran/iming-iming yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
keempat, Norupsi nepotistik ; yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat; kelima, Norupsi otogenik ; yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider's information) tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan; dan keenam, korupsi supportif'; yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
Demikianlah, dengan pengertian yang semula minimalis korupsi bisa dirinci ke dalam berbagai tipologi dan kategori. Lebih jauh, korupsi dapat juga dirumuskan berdasarkan tempat terjadinya; pada tingkat politik dan birokrasi di dalam sektor publik, atau dalam sektor swasta. Korupsi juga dapat dirumuskan dalam tingkat intensitasnya; apakah tindakan korupsi itu berlangsung secara isolatif atau sistematik. Kategori lainnya mencakup: korupsi benar-besaran dan kecil-kecilan; korupsi nasional dan lokal; personal dan institusional; dan korupsi tradisional dan moderen.
Seluruh kategori, tipologi, atau jenis korupsi ini sangat membantu tidak hanya untuk mengenali berbagai bentuk korupsi itu sendiri, tetapi juga penyebabnya, konsekuensi-konsekuensinya, dan cara-cara pemecahannya. Dengan demikian, tipologi, kategori dan jenis jenis korupsi tersebut akan menentukan prognosa untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, pemahaman yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyebab dan konsekuensi-konsekuensi korupsi sangat penting bagi perumusan sebuah strategi untuk memobilisasi gerakan anti korupsi dan membangun kemauan politik untuk melawan korupsi. Strategi itu mencakup pengembangan tiga hal; pertama, kemampuan mengartikulasikan berbagai konsekuensi korupsi terhadap sistem ekonomi, politik dan sosial merupakan hal sangat krusial untuk melibatkan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam usaha-usaha antikorupsi dan membangun koalisi untuk reformasi dan pembentukan good governance; kedua, pemahaman tentang kenapa kepemimpinan politik dan birokrasi sewaktu-waktu membicarakan soal korupsi tetapi tidak pada kesempatan lain sangat esensial untuk mendekonstruksi pengaturanpengaturan kolusif yang ada;
ketiga, pemahaman lebih baik juga diperlukan tentang bagaimana tuntutan bagi pemberantasan korupsi dapai: dimobilisasi, dan bagaimana komitmen kepada gerakan anti-korupsi dari kepemimpinan politik dan birokrasi dapat diperoleh sehingga dapat menjamin sustainability adanya kebijakan-kebijakan khusus dan perubahan-perubahan institusional yang diperlukan untuk memberantas korupsi.
Tata Pemerintahan Yang Baik dan Korupsi
Dengan mengenali berbagai kategori, tipologi dan jenis korupsi serta faktor-faktor penyebab kemunculannya dalam konteks situasi tertentu, barulah reformasi anti-korupsi dapat dilakukan. Secara singkat, gerakan anti-korupsi ini merupakan proses dua tahap. Pertama, tahap perumusan kebijaksanaan untuk menangani penyebab-penyebab pokok korupsi; dan kedua, penciptaan dan penumbuhan kemauan politik (political will) yang sangat krusial bagi implementasi gerakan reformasi anti-korupsi.
Kedua tahap mencerminkan peranan krusial pemerintahan dan birokrasi umumnya dalam gerakan anti korupsi. Dan ini membutuhkan terwujudnya good governance yang demokratis, kredibel, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan sektor publik. Karena itu langkah krusial paling awal dalam pemberantasan korupsi adalah meningkatkan tuntutan-tuntutan bagi reformasi pertama kali pada level pemerintahan, kemudian pada level masyarakat bisnis, dan publik pada umumnya.
Seperti dikutip paling awal dalam makalah ini, komitmen yang ikhlas, dan tulus dari kepemimpinan tertinggi dan tinggi negara merupakan komponen sangat krusial bagi keberhasilan kampanye antikorupsi. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Sering sekali kepemimpinan politik dan birokrasi hanya secara sporadis dan adhoc berbicara tentang pemberantasan korupsi.
Karena itu, terdapat kesan bahwa kepemimpinan politik dan birokrasi berbicara tentang korupsi hanya untuk kepentingan konsumsi politik publik, dan untuk mendapatkan legitimasi tambahan melalui isyu anti-korupsi. Secara unum, terdapat kecenderungan analisis untung-rugi politik (political cost-benefit analysis) dari pihak kepemimpinan politik dan birokrasi menjadi faktor menentukan eksistensi dan, sebaliknya, ketiadaan/kekurangan kebijakan resmi atau tindakan kongkrit terhadap korupsi. Karena itu, merupakan tugas lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya untuk terus melakukan pressure agar selalu muncul kemauan politik dari kepemimpinan politik untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah kongkrit bagi pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya, terdapat tiga macam kebijakan resmi yang dapat diambil kepemimpinan politik untuk secara efektif dapat mengurangi jika tidak menghabiskan sama sekali berbagai bentuk korupsi. Pertama, mengubah kebijakan yang mendorong orang atau memberikan kesempatan bagi terjadinya korupsi; kedua, menata kembali struktur penggajian dan insentif material lainnya yang berlaku pada lembaga-lembaga administrasi-birokrasi dan institusi-institusi politik lainnya; ketiga, mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan dan kapasitas penegakan hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif, dan berkesinambungan.
Pada tahap berikutnya, ketiga kebijakan di atas dapat dipadukan dengan rekomendasi yang diberikan World Bank (1997:105) tentang strategi untuk pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ada tiga komponen penting yang tercakup dalam strategi pemberantasan korupsi:
Pertama, membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan merit dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrari.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik umumnya hendaklah juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga sekali lagi pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini:
Pertama, memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol tersebut bisa berfungsi baik. Dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan.
Hal terakhir ini dapat dicapai melalui kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan administratif, transparansi yang lebih besar dari pihak pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan. Yang terakhir, mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi tentang konsep-konsep seperti Nantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.
Penutup
Momentum bagi pemberantasan korupsi di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dan momentum itu telah diformalisasikan di dalam ketetapan don kebijakon resmi negara, baik pada level MPR, DPR maupun eksekutif. Dan bahkan sekorang sedang disiapkan don dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan pembentukan KPTPK yang memiliki wewenang sangat luas, publik berharap pemberantasan korupsi dapat kembali menemukan momentumnya.
Meski sempat mengalami sedikit pasang surut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, momentum untuk memberantas korupsi nampaknya sedikit meningkat pada awal masa Presiden Megawati. Presiden Megawati dalam pidatonya menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 56 di depan Sidang Paripurna DPR menyatakan tekadnya untuk tidak memberikan kesempotan bagi berkembangnya tindakan-tindakan KKN dimulai dengan keluarga terdekatnya sendiri.
Terakhir dalam sebuah kesempatan perjalanannya keliling negara-negara ASEAN, Presiden Megawati berencana untuk menyiapkan RUU Anti-KKN. Pernyataan-pernyataan Presiden Megawati don pembentukan KPTPK mengisyaratkan adanya semacam political will untuk memberantas korupsi yang telah banyak disinggung di atas. Tetapi aktualisasi pemberantasan korupsi secara kongkrit rnasih harus ditunggu.
Bahkan, dalam banyak kalangan publik sekarang muncul kesan yang semakin kuat bahwa pejabat-pejabat publik Indonesia tidak serius memberantas korupsi. Atau, paling banter hanya menjadi lips service belaka.
Tetapi, saya lira, publik seharusnya tidak menunggu entah sampai kapan munculnya usaha-usaha kongkrit dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi. Sementara itu, publik justru harus meningkatkan public pressure yang seperti dikemukakan terdahulu sangat krusial dalam usaha pemberantasan korupsi.
Kita bersyukur, pada akhirnya organisasi-organisasi Muslim terbesar di negeri ini; NU dan Muhammadiyah dalam beberapa waktu terakhir melalui kerjasama dengan Partnership for Governance Reform telah dan sedang melancarkan kampanye dan gerakan anti korupsi (Azra 2003). Kampanye publik ini sebuah langkoh maju, tetapi masih diperlukan lagi langkah-langkah dan aksi lebih kongkrit dari publik dan masyarakat secara keseluruhan untuk menolak praktek-praktek korupsi, Walahu a ' lam bish-shawab. (Azyumardi Azra, Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bibliografi
Alatas, Syed Hussein, 1990, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, aldershot, Brookfield, Vt.: Avebury
Azra, Azyumardi, 2003,”Agama dan pemberantasan Korupsi”, Kompas, 5 Oktober,2003.
Elliot, Kimberly A, 1997,”Corruption as a Global Policy Problem: Overview and Recommendations”, in Corruption and the Global Economy, Washington D.C.: Institute for Global Economics
Heywood, Paul, 1997,”Political Corruption: Problems and Perspectives”, Political Studies, Vol 45, No.3, Special Issue.
-------------------
Makalah disampaikan dalam seminar internasional: Praktek-Praktek yang baik Dalam Memerangi Korupsi di Asia, diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia, bersama Kementerian PAN, IPW, AJI, ICW, dan GTZ di Hotel Le Meridien Jakarta,
Read More...
Selasa, 14 Oktober 2008
Latihan soal PKN SMA
kreativitas dalam belajar: Latihan soal PKN SMA: "Bagi siswa/i SMA yang ingin latihan soal dapat langsung mengerjakan soal secara On-Line, untuk murid di SMA N 6 Semarang Indonesia Silahkan Pilih Soal UAS dan UAN untuk tingkat SMA..... Selamat mengerjakan."
Read More...
Senin, 13 Oktober 2008
Latihan soal PKN SMA
Bagi siswa/i SMA yang ingin latihan soal dapat langsung mengerjakan soal secara On-Line, untuk murid di SMA N 6 Semarang Indonesia Silahkan Pilih Soal UAS dan UAN untuk tingkat SMA..... Selamat mengerjakan.
1.Soal-soal UAS dan UAN SMA- Online:
Klik soal:
http://www.invir.com/latihan/sma3uaspkn07.html
http://www.invir.com/latihan/sma3uaspkn06.html
2.Soal-soal UAS dan UAN SMP -Online :
klik soal:
http://www.invir.com/latihan/smp3uaspkn07.html
http://www.invir.com/latihan/smp3uaspkn06.html
3.Soal Mid Semester Ganjil
Download file:
Kelas X :
http://www.4shared.com/file/66716006/18285d29/soal_mid_smt_1_0809_final.html
Kelas XI :
http://www.4shared.com/file/66716173/26c15556/soal_mid_smtr_1_kls_xi.html Read More...
1.Soal-soal UAS dan UAN SMA- Online:
Klik soal:
http://www.invir.com/latihan/sma3uaspkn07.html
http://www.invir.com/latihan/sma3uaspkn06.html
2.Soal-soal UAS dan UAN SMP -Online :
klik soal:
http://www.invir.com/latihan/smp3uaspkn07.html
http://www.invir.com/latihan/smp3uaspkn06.html
3.Soal Mid Semester Ganjil
Download file:
Kelas X :
http://www.4shared.com/file/66716006/18285d29/soal_mid_smt_1_0809_final.html
Kelas XI :
http://www.4shared.com/file/66716173/26c15556/soal_mid_smtr_1_kls_xi.html Read More...
Latihan Soal - Soal -BELAJAR ONLINE
Mungkin sebagian besar anda sudah mengetahui keberadaan invir.com yaitu tempat dimana anda bisa menguji kemampuan anda mengerjakan soal - soal Ujian Nasional tahun - tahun sebelumnya secara online. Ada 3 paket soal Ujian Nasional yang anda bisa kerjakan yaitu dari tahun 2003 - 2005 yang terdiri dalam 8 pelajaran ( Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, dan PKn )
Selain invir ada juga tes online yang bisa anda manfaatkan untuk menguji kemampuan persiapan anda menghadapi Ujian Nasional, Anda bisa klik di smansarbg ( formatnya sama dengan yang ada di invir ). Ada 10 mata pelajaran yang tersedia. terdiri dari :
1. Bahasa Indonesia ( dari tahun 1989 - 2005 )
2. Bahasa Inggris ( dari tahun 1989 - 2005 )
3. Matematika ( dari tahun 1989 - 2005 )
4. Fisika ( dari tahun 1989 - 2005 )
5. Kimia ( dari tahun 1989 - 2005 )
6. Biologi ( dari tahun 1989 - 2005 )
7. Ekonomi ( dari tahun 2002 - 2005 )
8. PKn ( dari tahun 1999 dan 2004 )
9. Sosiologi ( 1997 )
10. Geografi ( 2000 )
Selamat Belajar, semoga Ujian Nasionalnya sukses ! Read More...
Selain invir ada juga tes online yang bisa anda manfaatkan untuk menguji kemampuan persiapan anda menghadapi Ujian Nasional, Anda bisa klik di smansarbg ( formatnya sama dengan yang ada di invir ). Ada 10 mata pelajaran yang tersedia. terdiri dari :
1. Bahasa Indonesia ( dari tahun 1989 - 2005 )
2. Bahasa Inggris ( dari tahun 1989 - 2005 )
3. Matematika ( dari tahun 1989 - 2005 )
4. Fisika ( dari tahun 1989 - 2005 )
5. Kimia ( dari tahun 1989 - 2005 )
6. Biologi ( dari tahun 1989 - 2005 )
7. Ekonomi ( dari tahun 2002 - 2005 )
8. PKn ( dari tahun 1999 dan 2004 )
9. Sosiologi ( 1997 )
10. Geografi ( 2000 )
Selamat Belajar, semoga Ujian Nasionalnya sukses ! Read More...
Jumat, 19 September 2008
Senin, 08 September 2008
Sejarah nama Indonesia
Sejarah nama Indonesia
Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia
Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi IndonesiaJaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
"... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
"Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago".
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.
Nama Indonesia dalam berbagai bahasa
• Indonesia (Bahasa Finlandia, Indonesia, Italia, Melayu, Romans, Spanyol)
• Indónesía (Eslandia)
• Indonésia (Portugis)
• Indonesja (Malta)
• Indonésie (Ceko, Perancis)
• Indonesië (Afrikan, Belanda)
• Indonesien (Jerman, Swedia)
• Indonezia (Rumania)
• Indonézia (Hongaria)
• Indonezja (Polandia)
• Indonezija (Kroasia, Lithuania, Slovenia)
• Indonēzija (Latvia)
• Indonezio (Esperanto)
• Endonezya (Turki)
• Indonesiana (Pig Latin)
• Indoneesia (Estonia)
• Indoneesiä (Võro)
• Indoneziya - Индонезия (Bulgaria, Rusia)
• Indoneshia - インドネシア (Jepang)
• Indonisía - Ινδονησία (Yunani)
• Indonashia - انڈونیشیا - (Urdu)
• Yìndùnìxīyà - 印度尼西亞 / 印尼 - baca: Intunisiya(Tionghoa)
Pranala luar
• (id) Asal Usul Nama Indonesia
• (id) Asal-usul Kata Indonesia
• (id) Pusatbahasa: Nama Indonesia Read More...
Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia
Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi IndonesiaJaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
"... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
"Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago".
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.
Nama Indonesia dalam berbagai bahasa
• Indonesia (Bahasa Finlandia, Indonesia, Italia, Melayu, Romans, Spanyol)
• Indónesía (Eslandia)
• Indonésia (Portugis)
• Indonesja (Malta)
• Indonésie (Ceko, Perancis)
• Indonesië (Afrikan, Belanda)
• Indonesien (Jerman, Swedia)
• Indonezia (Rumania)
• Indonézia (Hongaria)
• Indonezja (Polandia)
• Indonezija (Kroasia, Lithuania, Slovenia)
• Indonēzija (Latvia)
• Indonezio (Esperanto)
• Endonezya (Turki)
• Indonesiana (Pig Latin)
• Indoneesia (Estonia)
• Indoneesiä (Võro)
• Indoneziya - Индонезия (Bulgaria, Rusia)
• Indoneshia - インドネシア (Jepang)
• Indonisía - Ινδονησία (Yunani)
• Indonashia - انڈونیشیا - (Urdu)
• Yìndùnìxīyà - 印度尼西亞 / 印尼 - baca: Intunisiya(Tionghoa)
Pranala luar
• (id) Asal Usul Nama Indonesia
• (id) Asal-usul Kata Indonesia
• (id) Pusatbahasa: Nama Indonesia Read More...
Langganan:
Postingan (Atom)