Sejak zaman kolonial pun persaingan antara kepentingan elite lokal dan nasional sudah ada. Hanya saja, bagi rakyat Indonesia, rentang waktu delapan tahun terakhir ini telah memaparkan kekontrasan yang kasatmata. Dulu tak ada demo-demo, sekarang hampir setiap hari orang berunjuk rasa, bahkan disertai tindakan yang cenderung anarkis seperti membakar dan merusak. Dulu mencari makan tak sesusah sekarang, harga bensin juga masih terjangkau. Dulu politisi kompak, tak suka saling mencaci maki seperti sekarang.
Dulu diartikan sebagai zaman Orde Baru, sedangkan sekarang adalah pascapemerintahan Soeharto yang telah dijalankan oleh empat presiden (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Ketika pemerintahan Soeharto tumbang, begitu tinggi harapan masyarakat bahwa akan terjadi perubahan sosial yang berpihak kepada rakyat. Kini, selaras dengan itu, kekecewaan rakyat juga begitu dalam saat melihat harapan mereka semakin jauh dari kenyataan.
Seorang panelis mengatakan, jangan-jangan kultur kita memang belum siap untuk melakukan perubahan sekaligus. Yang siap kita ubah hanyalah pada tataran kebijakan atau kelembagaan sehingga kita tergoda oleh resep-resep jangka pendek. Kita terlalu terburu-buru untuk menawarkan alternatif tanpa melihat akar persoalan secara lebih mendalam. Dengan kata lain, kita terjebak pada pola-pola tambal sulam.
Muncullah pernyataan yang menghunjam bahwa apa yang terjadi saat ini di Indonesia bukanlah reformasi, tetapi demokrasi liberal yang jelas-jelas tidak bisa menyejahterakan rakyat. Diingatkan, suatu negara tak akan bisa berdemokrasi apabila rakyatnya lapar, karena yang akan terjadi adalah anarki.
Apakah ini berarti Indonesia kembali membutuhkan sebuah pemerintahan yang otoriter? Pertanyaan yang sensitif ini langsung ditangkal banyak peserta. Bahkan, seorang di antaranya mengatakan, dia akan berhenti menjadi bangsa Indonesia apabila membiarkan negeri ini diatur dengan cara otoriter.
Semua pihak kemudian diajak untuk melihat kembali tujuan dan makna kemerdekaan yang kita raih, yang merupakan satu paket dengan demokrasi. Sebuah kesimpulan yang pukul rata bahwa demokratisasi mendatangkan anarki dan bukan transformasi dinilai terburu-buru. Pasalnya, reformasi baru berlangsung sewindu!
Diakui, demokratisasi memang telah membuka ruang publik yang begitu lebar sehingga mempertontonkan persaingan dan perseteruan di tataran lokal maupun nasional secara gamblang. Namun, itu haruslah diterima sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Konsentrasi kekuasaan
Pada awalnya, reformasi politik di Indonesia diasumsikan akan mampu membawa negara ini pada sebuah sistem demokrasi yang berdasarkan sistem checks and balances (kontrol dan penyeimbang). Dalam tatanan ini, kekuasaan politik didistribusikan di antara berbagai kelompok kepentingan yang saling berkompetisi secara terbuka namun mengikuti aturan main.
Nyatanya, setelah delapan tahun reformasi yang terjadi tidaklah demikian. Saat ini terjadi penguatan konsentrasi kekuasaan, terutama di bidang politik, lokal maupun nasional. Apa yang diteliti sosiolog C Wright Mills (1956) bahwa kelas elite di AS menguasai berbagai sumber stratifikasi sosial, termasuk kekuasaan, prestise, dan modal; kini dalam gradasi yang berbeda juga terjadi di Indonesia. Bahkan terlihat gejala bahwa konsentrasi kekuasaan, modal, dan prestise hanya pada sekelompok elite yang sama.
Dengan kata lain, apa yang terjadi setelah reformasi politik di Indonesia bukanlah demokrasi secara substansial, melainkan demokrasi secara prosedural. Contoh yang paling segar adalah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia tahun 2004 yang dipuja-puji oleh komunitas internasional karena telah mencerminkan karakter demokrasi yang sesungguhnya, yaitu toleran, tanpa kekerasan, dan fair. Namun, pemilu yang demokratis nyatanya tidak otomatis menghadirkan sebuah kepemimpinan yang mampu melakukan transformasi sosial.
Artinya, reformasi politik tanpa perubahan menyeluruh pada tataran masyarakat; perubahan sikap mental pada tataran individual, tidak akan dapat menimbulkan transformasi politik, apalagi perubahan sosial. Untuk itu, semua pihak harus mau melakukan terobosan.
Gagasan yang disodorkan adalah bagaimana mengupayakan persebaran distribusi kekuasaan (dispersion of power) yang lebih luas dan merata. Untuk melakukan ini dibutuhkan sebuah perubahan struktural dan institusional.
Seorang panelis menawarkan ”Politik Jalan Ketiga” dari Anthony Giddens (1998) yang untuk konteks Indonesia dinilai cukup relevan, khususnya untuk jangka pendek, yaitu rekonstruksi pemerintah, pengembangan masyarakat madani, dan rekonstruksi ekonomi.
Pandangan ini juga dinilai sejalan dengan gagasan Ulrich Beck (1997) menyangkut penguatan subpolitik yang ditandai dengan meluasnya gerakan-gerakan sosial baru yang bersifat transnasional.
Beberapa contoh dari gerakan-gerakan sosial baru tersebut adalah menjamurnya kelompok yang menyuarakan masalah ekologi global, kesetaraan jender, antiperang, dan lainnya. Gerakan-gerakan ini memanfaatkan media massa dan teknologi informasi mutakhir untuk mempersatukan masyarakat dunia dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
Fenomena seperti ini juga terjadi di Indonesia, dan apabila diberdayakan, diyakini dapat menjadi upaya alternatif bagi perubahan struktural sehingga kekuasaan politik tidak hanya terkonsentrasi pada sekelompok elite yang sama.
Masalahnya, bagaimana agar gerakan-gerakan voluntaristik masyarakat ini berada dalam koridor yang mengusung kebhinekaan, toleransi, dan antikekerasan? Usulan yang diajukan di antaranya adalah dengan menempatkan pendulum perubahan dalam nafas yang menghormati pola hidup, corak budaya, dan pluralitas masyarakat.
Caranya antara lain dengan menanamkan sikap saling menghargai nilai-nilai budaya dan tradisi, mengakarkan nilai-nilai harmonisasi dengan memberikan tekanan pada kebiasaan ”bersaing yang sehat”, serta selalu berorientasi pada penanaman rasa kesatuan dan persatuan.
Masyarakat juga perlu menyadari bahwa kesenjangan sosial adalah bagian integral suatu bangsa. Yang perlu dipupuk di sini adalah bagaimana menyatukan tekad untuk mengatasinya.
Dengan titik tolak seperti ini, visi 25 tahun ke depan tetaplah berpegang pada nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti juga yang pernah dilontarkan Prof Dr Franz Magnis-Suseno dalam wawancaranya dengan Kompas (14/5), bahwa Pancasila adalah kunci bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, karena hanya Pancasila yang menerima pluralitas bangsa.
Sumber: Kompas Cyber Media,
HASIL UN 2013/2014
Pengumuman kelulusan Ujian Nasional SMAN 6 Semarang tanggal 20 Mei 2014.
Halaman ini dipersiapkan untuk pengumuman kelulusan siswa SMAN 6 Semarang tahun ajaran 20013/2014. bagi anda siswa atau orangtua atau siapa saja warga sekolah yang ingin tahu tentang , pada saatnya nanti halaman ini akan berganti dengan pengumuman kelulusan
semua ada disini
Rabu, 02 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar